Dalam petak kamar sebelah,ada jerit kesakitan melesat dari celah daun pintu jendela, tarikan berat nafas,batuk kecil kecil,sumpah serapah sempurnakan pergulatan, sedang panggilan panggilan asing yang membingungkan menggenapkan bentang nada kegetiran. Tak kudengar Tuhan di sana, hanya derak paru paru pecah yang bocor dan mendesiskan kematian, memetakkan perjalanan panjang,hitam danmemabukkan. Sebut Tuhan, kataku, tapi bibir kaku gemetar itu sedikitpun tak bergeming,ya,.. Bibir yang dulu menawarkan derit ranjang kini semakin jelas betapa angkuhnya ia, padahal ketika Tuhan memberinya kesehatan hanya birahi masak selalu dibawanya ke manapun dia pergi dan singgah mengacaukan udara siang malam, maka jangan palingkan wajahmu kalau engkau kini terbaring tak berdaya,bercerminlah pada masa lalumu, bukankah hanya lelah dan sakit yang kau petik dari petualanganmu di remang malam ? Inilah hasilnya, nikmati dan tersenyumlah seperti engkau dulu juga tersenyum membersihkan peluh yang deras menetes setelah satu babak usang, maju mundur ke belakang seirama detak jam,usai kau lewati dalam mata terpejam, nafas tersengal lepas seluruh belulang,otot otot lemas tak berdaya. Sebut Tuhan,kataku sekali lagi dan tetap saja angkuh, bibir yang dulu membisikkan kenikmatan itu sekarang atas nama maut menjerit melolong panjang, sakit tak tertahankan, hanya doa yang sanggup kupanjatkan, Tuhan, sehitam apapun ia tolong selamatkan.
(Supriyadi Ala Jal)