Angin malam yang dingin berhembus kencang menerpa kulitku. Seketika itu bulu kudukku merinding luar biasa. Kurapatkan jaket tebal pemberian kakakku itu agar sedikit lebih hangat lagi. Kuberanikan diri berjalan menembus gerimis kecil yanga sedang turun. Beberapa menit yang lalu, handphone kesayanganku berdering dengan kencang pertanda panggilan masuk. Tanpa berpikir panjang lagi aku segera mengangkatnya. Tapi, alangkah terkejutnya aku ketika kudapati suara Hanum, sahabtku sedng menangis tersedu-sedu. Ku berusaha untuk menenangkannya, tapi jawabannya, ia ingin kau menjemputnya di halte bus yang tak jauh dari rumahku. Aku mengiyakannya tanpa ragu.
Setelah sekuat tenaga aku meminta izin kepada kakakku, akhirnya ia mengizinkanku. Dan inilah aku sekarang, berjalan sendiri dengan satu payung biru yang kupegang kalau saja tiba-tiba hujan deras. Aku melihatnya. Seorang gadis dengan seragam SMA nya duduk sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan setengah berlari, aku menghampirinya.
“Hanum!” panggillku.
Hanum langsung mendongakkan kepalanya. Menatap aku yang berdiri di hadapannya dengan nanar. Hanum langsung memelukku. Tangisnya pecah seketika.
“Hanum, kamu kenapa?” tanyaku sedikit cemas sembari membelai kepalanya yang menggunakan jilbab berwrna putih.
“Ara…” panggilnya lirih disela tangisnya.
“Kenapa? Cepat jelasin!” ujarku.
Hanum melepaskan pelukannya. Ia menatapku lagi.
“Aku benci Ayah!” ujarnya sedikit berteriak. Kalimat itu serta merta membuatku terkejut.
“Kenapa? Kenapa kamu benci?” tanyaku pelan.
Hanum hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku mengerti. Keadaannya masih kacau. Aku tak ingin memaksanya.
“Ya sudah, malam ini kamu menginap di rumahku saja dulu. Ini sudah malam kalau mau pulang.” ujarku.
Hanum mengangguk.
Malam itu Hanum menginap di rumahku, kakakku dengan bermurah hati mengizinkannya.
Keesokaan harinya, kami sekolah seperti biasa. Berhubung kami kelas akhir di tingkat SMA ini dan telah usai melaksanakan seluruh ujian, kami hanya datang untuk acara perkumpulan kelas akhir.
“Ara makasih” ujar Hanum ketika kami berada di angkot menuju sekolah.
“Untuk apa?” tanyaku bingung.
“Untuk segalanya!” ujarnya lugas.
Aku hanya tersenyum.
Walaupun masih bingung. Tapi, aku tidak ingin ambil pusing. Aku pun langsung mengangguk dan mensimakkannya saja. Sampainya di sekolah, kami langsung menuju Aula yang berada di sebelah kelas IPS 3. Aula itu tidak terlalu besar, tapi dapat menampung seluruh kelas akhir untuk mendengarkan embel-embel dari kepala sekolah kami.
“Kita duduk disini saja, biar jelas.” Ujarku mengajakknya untuk duduk di kursi nomor lima dari depan. Hanum mangangguk. Tak lama dari itu kepala sekolah kami datang dan berdiri diatas podium menyapa kami ramah.
“Assalamualaikum, anak-anak.” Ujar pak Darma kepala sekolah kami.
“Waalaikumsalam, Pak.” Sapa kami semua. Pak Darma sedikit membenarkan kacamatanya lalu menyapa kami.
“Disini, Bapak ada sedikit pengumuman untuk kelas akhir, yaitu berhubung kalian sudah menyelesaikan ujian dan masih ada waktu luang sedikit menunggu kelulusan . maka Bapak berinisiatif untuk mengajak kalian semua berlibur. Hitung-hitung untuk refreshing dan liburan.” Ujar Pak Darma menjelaskan.
Tanpa embel-embel lagi, kami semua berteriak senang. Aula pun menggema oleh suara tawa dan teriakkan kelas akhir.
“Yee, Hanum kita jalan-jalan!” ujarku senang.
Hanum hanya terdiam. Ia tersenyum kecil.
“Pulang dari sini. Kamu ikut aku ke rumah ya.” Ujarnya serius menatapku.
Awalnya aku sempat heran, tapi pada akhirya aku langsung mengangguk.
Setelah acara selesai, aku tidak langsung pulang. Sesuai permintaan Hanum, aku pergi ke rumahnya dulu. Rumahnya bisa dibilang lumayan jauh, karena untuk sampai disana, kami harus naik angkot dua kali untuk sampai di rumahnya.
Dan sekarang, aku telah berdirididepan sebuah rumah yang sederhana. Itu rumah Hanum. Tidak terlalu besar. Tapi cukup menampung keluarga mereka. Hanum langsung masuk menemui orang tuanya sementara aku menunggu di ruang tamu sembari duduk diatas kursi plastik yang Hanum sediakan.
Aku duduk sembari bersenandungkecil. Di dinding ruang tamu Hanum banyak foto-foto ia dan keluarganya. Foto Hanum dan ayahnya yang tampak sangat harmonis. Foto Hanum, ibunya, ayahnya, dan kedua adiknya. Mereka keluarga yang lengkap. Batinku. Bola mataku memanas. Aku bisa mersakan butir-butir air mataku merembes di pipiku dengan hangat. Seandainya… seandainya keuargaku bisa seperti keuarga Hanum…
“Prankkkk!”
Suara itu benar-benar mengejutkanku. Aku langsung berdiri dan melihat keadaan di dalam. Aku terkejut. Hampir saja kakiku menyentuh pecahan-pecahan piring dan kaca yang tampak berserakan. Astaghfirullah! Kenapa ini?
“Hanum!” panggilku setengah berteriak.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Hanum yang begitu kuat.
“Aku benci Ayah. Ayah selalu gak bisa bahagiain aku. Selalu buat aku terbebani. Ayah gak pernah bisa buat anak sendiri seneng. Aarrgghhh, aku benci, Ayah. Benci.” Teriakan Hanum benar-benar membuatku igin menangis. Hanum membenci ayahnya.
“Iya, nak nanti Ayah usahakan cari uangnya untuk kamu jalan-jalan. Sekarang Ayah belum ada uang.” Ujar seorang pria renta tersebut dengan parau. Pria itu adalah Ayah Hanum.
“Nanti, nanti, dan nanti. Aku muak. Bosan!” Hanum membentak Ayahnya. Astaghfirullah, Hanum!.
“Hanum, sabar yah, nak. Ayah akan berusaha…” ujar Ayah Hanum lirih. Hanum tak menghiraukan lagi perkataan Ayahnya. Ia langsung pergi dengan amarahnya. Aku pun langsung berlari mengejar Hanum. Gadis berjilbab putih itu menangis memeluk lututnya dibawah pohon rambutan didepan rumahnya. Aku pun langsung menghampirinya.
“Hanum.” Panggilku pelan, sembari merangkul bahunya yang bergoncang. Hanum tetap diam. Tak menghiraukan .
“Kamu gak boleh kayak gitu, Hanum. Dia itu Ayahmu.” Ujarku menasihatinya. Ia angsung menggeleng-gelengkan kepalanya..
“Bukan, dia bukan Ayahku. Aku tidak punya Ayah yang selalu membuatku terbebani.” Ujar Hanum sedikit berteriak.
Aku terdiam. Ya Allah! Bagaimana mungkin Hanum tidak mengakui ayahnya sendiri. Ayah Hanum orang yang baik dan sabar. Aku tau itu, Hanum pernah menceritakan Ayahnya padaku. Ayah Hanum tidak pernah memarahi Hanum ataupun membentaknya.
“Ayah jahat. Ayah gak pernah sayang sama aku.” Hanum benar-benar kesal.
Aku membelai kepalanya yang tertutup jilbab.
“Num, kamu tahu, gak ada seorang Ayah yang jahat sama anaknya sendiri. Gak ada seorang Ayah yang gak sayang sama anaknya. Kamu lihat Ayahmu itu, dia pria yang baik, Num. Dia selalu mencari nafkah untuk kalian, harusnya kamu bersyukur.” Ujarku menasihatinya.
Hanum menatapku lagi.
“Aku pingin jadi kamu, Ra. Pasti Ayahmu baik, selalu bisa membuatmu bahagia. Tidak seperti Ayahku.” Ujar Hanum lirih.
Aku terdiam. Rasanya, hati ini perih sekali jika harus mengingat tentang Papa. Hanum memang tidak tahu tentang keluargaku. Aku sedikit tertutup tentang hal-hal pribadiku.
“Kamu tahu Papaku?” tanyaku sembari tersenyum.
Ya Allah! Itu terlalu perih.
Hanum menggeleng.
“Kamu pingin aku ceritakan tentang Papa?” tawarku.
Hanum tersenyum lalu mengangguk. Aku menghembuskan nafasku pelan sebelum menceritakan tentang seorang lelaki yang sangat berarti dalam hidupku.
Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah! Kuatkan aku!
“Papa adalah seorang lelaki gagah yang pertama kali melantunkan kalam-kalamullah berupa seruan adzan saat pertama kali aku terlahir di dunia ini. Papa adalah seorang lelaki yang pertama kali tersenyum behagia dn terharu saat pertama kali mendengar tangisanku di bumi ini. Dia seorang lelaki yang luar biasa.
“Papa adalah seorang lelaki yang pertama kali mengajarkan aku cara berjalan, karena saat itu, Mama sibuk mengurusi kakak-kakakku yang waktu itu masih balita. Masih teringat jelas saat aku berusia enam tahun, Papalah yang mengajarkanku bersepeda. Dengan sabar, Papa mengajariku, walaupun sering terjatuh dan menangis, Papa selalu membuatku tersenyum kembali.
“ ‘Anak Papa harus kuat! Perempuan tidak boleh lemah! Ayo kita coba lagi!’ perkataan itu masih teringat jelas di ingatanku. Dan ketika aku bisa, Papalah yang pertama kali menciumku dan memelukku, ‘Hore… anak Papa bisa!’ Papalah yang selalu ada ketika aku butuh.
“Papa selalu bisa membuatku tersenyum. Saat aku dimarahi Mama karena memecahkan piring, dengan senang hati Papa memungut pecahan –pacahan piring itu dan mengatakan, ‘jangan dekatin Papa dulu, nanti kaki Ara kena pecahan ini.’ Ketika aku sakit, Papa adalah orang nomor dua yang begitu mencemaskan aku setelah Mama. Dengan sekuat tenaga Papa memanggil dokter-dokter terdekat untuk memeriksakan aku. Papa begitu menyayangiku.
“Ketika hendak tidur, Papa selalu bermain gitar untukku. Papa sangat pintar bermain gitar, dia bernyanyi bersama Mama untukku, dan ketika aku telh terlelap, Papa akan mencium kening dan pipiku, dan mengtakan, ‘Selamat tidur anak Papa, sekarang udah gede, mimpi yang indah ya sayang, Papa sangat menyayangimu.’ Semua itu Papa melakukannya dengan senang hati. Papa itu segalanya untukku.”
Aku menyeka air mataku sebelum Hanum melihatnya. Hanum menatapku takjub.
“Papa kamu bisa main gitar? Waaah! Aku pingin diajarin main gitar sama Papa kmau!” ujar Hanum. Ia sekarang sudah tampak lebih baik.
“Kamu pingin ketemu Papaku?” tanyaku lagi.
Hanum langsung mengangguk. Aku tersenyum.
“Ya udah kalo gitu, sebagai gantinya, kamu liburan aja sama aku di Bandung. Nanti kamu bakal ketemu Mama. Dan juga ketemu Papaku.” Ujarku.
Hanum menatapku dan langsung memelukku.
“Aku mau. Tapi, jalan-jalan kamu gimana!” ujar Hanum
“Semuanya bisa diatasi.” Ujarku.
“Ya, aku mau. Kapan?” aku terdiam seejnak.
“Besok.” Ujarku. Hanum tampak berpikir sejenak. Dan akhirnya, ia pun mengangguk.
Dan inilah aku sekarang. Hari ‘esok’ yang kami rencanakan kemarin. Aku memakai dress panjang berwarna biru dan jilbab panjang berwarna merah. Sempurna. Sekarang aku sudah siap.
Hanum telah menungguku di luar. Ia memakai baju terusan berwarna abu-abu dengan jilbab panjang warna senada dan menjinjing tas berukuran sedang berisikan pakaian-pakaian. Engan diantar oleh kakakku, kak Beni, menggunakan mobil sedannya menuju terminal. Kak Beni tidak bisa mengantarku sampai Bnadung karena harus menyelesaikan pekerjaan di kantornya dulu. Tapi ia sudah berjanji akan menyusul nanti jika pekerjaannya telah selasai.
“Hati-hati, Ara. Bilang ke Mama, Kakak nyusul nanti.” Ujar Kak Beni.
Aku pun mengangguk. Setelah menyalimi kak Beni, kami pun lengsung menaiki bus jurusan Jakarta-Bandung. Kami duduk di bangku nomor delapan dari depan. Di perjalanan aku lebih memilih banyak diam. Sebenarnya, aku belum sanggup. Tapi demi Hanum, pasti. Aku sanggup.
“Aku udah gak sabar ketemu sama Papa kamu.” Ujar Hanum.
“Iya, sabar. Nanti ketemu, kok.” Ujarku sambil melempar senyum ke arahnya. Hanum mengangguk.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Akhirnya bus sampai di terminal. Kami pun langsung turun. Untuk menuju rumahku, kami harus naik angkot.. tak butuh waktu lama, sekarang kami sudah sampai. Aku telah berdiri di hadapan sebuah rumah berpagar putih itu. Itu rumahku. Lebih tepatnya rumah Papa dan Mama.
“Ayo, Masuk!” ujarkyu mengajaknya.
“Rumah kamu gede’ banget.” Ujar Hanum. Takjub. Aku hanya tersenyum. Kami pun langsung masuk ke dalam.
“Assalamualaikum.” Ujar kami serempak.
“Waalaikumsalam. Siapa?” tampak suara seorang wanita dari arah dapur. Itu Mama.
“Ma. Ini aku, Ara.” Ujarku. Aku bisa mendengar suara hentakan kaki yang setengah berlari menghampiri kami. Ya, itu Mama. Seorang wanita renta yang tengah berdiri dihadapanku, manatapku dengan 1001 perasaan.
“Ara.” Pekik Mama. Aku langsung berhambur di pelukan wanita itu.
“Kamu, kok gak ngomong kalau mau kesini.” Ujar Mama tampak senang.
Aku hanya tersenyum.
“Biar surprise.” Ujarku.
“Aahh, pakek acara begituan segala. Ya udah cepet masuk. Ara bawa temen yah?” ujar Mama ketika melihat Hanum.
“Iya, Ma. Namanya Hanum. Katanya dia pingin ketemu Papa. Pingin diajarin main gitar.” Jelasku.
Mama terdiam. Lalu menatap Hanum.
“Pingin ketemu sama Papaya Ara?” tanya Mama. Hanum mengangguk.
“Ya udah, nanti ketemu kok. Tapi sekarang istirahat dulu, ya.” Ujar Mama.
Kami pun langsung masuk. Aku langsung merebahkan tubuh diatas sofa. Lelah. Sangat lelah.
“Ya udah cepetan mandi! ” Ujar Mama. Aku pun segera mandi. Begitu juga Hanum. Usai mandi, aku pun langsung meminta izin pada Mama, Mama mengiyakan.
“Apapun, Ara, jangan bersedi!.” Pesan Mama. Aku mengangguk. Kami pun pergi menuju rumah baru Papa. Yang telah di tunggunya kurang lebih tujuh tahun.
“Papa sama Mama kamu sudah pisah yah, Ra?” tanya Hanum ketika kami hendak menuju rumah Papa.
“Enggak, kok!” Jawabku.
“Terus kita kemana? Kok, kerumah baru Papamu?” Tanya Hanum lagi. Gadis itu tampak bingung.
“Nanti kamu tau kok.” setelah berjalan cukup lama, kamipun sampai di depan sebuah TPU. Aku langsung mengajak Hanum.
“Kok, kita kesini sih? rumah Papa kamu lewat kuburan, ya?” tanya Hanum, aku hanya tersenyum.
“Nah, itu dia! Rumah Papa!” tunjukku pada salah satu makam di bawah pohon besar.
“ Ayo.” Hanum terdiam. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Ara… jadi Papa kamu…” ujarnya terbata-bata. Aku mengangguk. Aku langsung duduk di hadapan pusaran Papa. Tak lupa aku mencium nisan Papa. Lama.
“Assalamualaikum, Pa! Ini Ara datang.” ujarku dengan suara parau. Ya Allah papa!
“Ara bawa teman, Pa! Katanya dia ingin ketemu Papa. Dia pengen diajarin main gitar.” Hanum masih terdiam di sebelahku. Gadis itu menangis. Bahunya tergoncang-goncang. Aku berusaha untuk tersenyum. Tapi sulit sekali.
“Ara… maafin aku.” Ujarnya. Hanum langsung memeluku. Tangisku pecah.
“Aku janji, Ra. Aku gak akan benci sama Ayahku lagi! Aku janji, Ra bakal minta maaf sama Ayah! Ayah… ya Allah… maafin Hanum, Ayah!” Hanum menangis tersedak-sedak di pelukanku. Aku mengangguk-angguk sembari mengelus punggungnya.
“Aku gak tau kalau Papa kamu udah gak ada, Ra. Aku minta maaf.” ujarnya lagi.
“Iya! Kamu harus minta maaf ya sama Ayah kamu, sebelum terlambat.” ujarku. Hanum mengangguk. Aku menatap pusaran Papa dan tersenyum… Papa tau, hari ini, tepat dihadapan pusaran Papa, Ara mendapat pelajaran yang luas biasa. Tentang kita untuk saling mamaafkan sebelum terlambat. Aaaah, aku jadi ingat, dulu Papa juga sering nasehatin Ara. Papa tau, Ara kangen Papa. L
…..SELESAI…..