Ikatan alumni dengan pesantren sangat pribadi dan emosional. Lebih sekedar hubungan formal kelembagaan, seperti di sekolah selain pesantren. Umumnya di sekolah, setelah siswa lulus terkesan hubungan siswa dengan sekolah pun selesai. Karena itu, pertemuan alumni atau reuni menjadi sesuai yang cukup menarik di sekolah, apalagi kalau ada di antara alumni yang sukses dalam kiprahnya di masyarakat.
Pesantren menempatkan alumni pada posisi penting. Bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari komponen utama pesanten yang terdiri dari kyai, masjid, santri, dan pondok. Bila ketiga unsur lainnya bersifat menetap dalam pesantren, maka peran kepesantrenaan santri terus berlanjut setelah menjadi alumni. Karena itu, para alumni menjadi cerminan dan syiar dalam membangun citra pesantren di masyarakat.
Dalam konteks itu, Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah menyebut “pondok sebagai ibu kandung”. Hal ini menggambarkan hubungan pengasuhan dan pendidikan terhadap para santri seperti ibu dan anak yang berangkat dari konsep “Al-umm madrasah al-‘ulaa” (ibu adalah sekolah yang pertama). Ibu menjadi sumber dan media bagi perkembangan anak sejak dilahirkan. Tidak saja ketika anak dalam masa keemasan (golden age) yaitu dari balita sampai anak-anak, ibu bahkan telah melakukan fungsi pendidikan sejak anak masih berupa janin dalam kandungan.
Konsep tersebut menunjukkan peran pendidikan dan pengasuhan pesantren yang sangat menentukan bagi pembentukan karakter santri. Pesantren menjadi wahana yang kondusif bagi pengembangan potensi intelektual, emosi, dan spiritual. Maka, konsep pendidikan paripurna yang diterapkan Al-Ittifaqiah memadukan aspek kognitif, apektif, dan psikomotorik (to know, to do, dan to be). Para santri pun dibekali kemampuan beradabtasi (to live together), kepekaan lingkungan (to master the local), dan keinsafan ketuhanan (to know God creation). Berhasil-tidaknya konsep dan proses pendidikan yang diterapkan ini tentu dapat dilihat dari profil output pesantren yaitu para alumninya.
Masyarakat akan melihat dan menilai keberhasilan pesantren dari kualitas para alumni. Sebagai contoh, bila alumni menguasai Kitab Kuning orang akan tahu bahwa di pesantren kuat pengajaran kitabnya. Melahirkan alumni yang hafal Al-Qur’an mudah disimpulkan itulah pesantren tahfidz. Para alumni banyak yang menjadi qori’/qari’ah bahkan menjuarai even-even MTQ, orang akan tertarik karena bisa mendalami seni baca Al-Qur’an. Banyak alumni yang kuliah ke luar negeri, setiap hari berbahasa Arab dan Inggris, berarti pesantren mendidik agar santri bisa berbahasa asing. Alumninya banyak yang menjadi khotib, penceramah, guru mengaji, mempimpin tahlil dan do’a, memandikan jenazah di desa-desa, berarti kalau memasukkan anak pesantren punya pengetahuan agama dan berguna di masyarakat. Kemudian, kalau ada alumni yang menjadi anggota DPR, Polisi, tentara, perawat, pegawai negeri, dosen, guru, petani, pedagang, pengusaha itu berarti alumni pesantren juga bisa berkiprah di berbaga bidang profesi di masyarakat. Lalu sebebarapa besar pengaruh pendidikan terhadap keberhasilan alumni? Apakah keberhasilan alumni, bisa disebut keberhasilan pesantren?
Dilihat dari periode perkembangan Al-Ittifaqiah, maka alumni dapat dibagi dalam tiga generasi. Generasi pertama (1960-1990-an) adalah generasi pendiri Al-Ittifaqiah yang meletakkan pondasi dan kesinambungan sejarah Al-Ittifaqiah. Selanjutnya, generasi kedua (1990-2000-an) merupakan fase penguatan kelembagaan, kepemimpinan, sistem, dan pembangunan. Dan, generasi ketiga (2001-sampai sekarang) bisa disebut fase pengembangan dan tinggal landas pesantren.
Alumni generasi belakangan ini memiliki beberapa ciri antara lain: pertama, mereka pernah belajar di pesantren, mengabdi, dan sekarang menjadi pengurus pesantren. Mereka merupakan produk dari pendidikan fase penguatan pesantren pada fase kedua, sehingga memiliki pengalaman dan mengikuti proses transformasi pesantren. Kedua, terutama yang di pesantren, anak-anaknya sekolah di pesantren. Karena itu, mereka memiliki keterpanggilan dan komitmen yang lebih sebagai pendidik. Sebab pada hakekatnya yang dididik adalah anaknya sendiri. Ketiga, rata menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, beberapa bahkan di luar negeri. Budaya pendidikan yang mereka dapatkan di dunia kampus dapat memperkaya konsep pengembangan pesantren. Dan keempat, alumni semakin menyebar dan merambah bidang lain di luar pesantren. Hal ini tentu dengan komitmen yang kuat dapat membuka peluang bagi perluasan sumber daya sekaligus penyaluran potensi alumni di masyarakat.
Dalam konteks itu, penting untuk melihat peta jaringan Al-Ittifaqiah (Al-Ittifaqiah connection). Berapa banyak alumni yang berkiprah, antara lain di dunia pendidikan di lingkup apa saja: guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren; birokasi-pemerintahan di level apa: karyawan, pimpinan; dunia politik sudah sampai di mana: pimpinan partai, legislatif, eksekutif di daerah atau nasional; bidang ekonomi: berapa yang berwirausaha, usaha apa saja, tingkat lokal atau nasional; dan sosial kemasyarakatan: berapa banyak yang mendirikan panti asuhan anak yatim, dan melakukan pemberdayaan masyarakat (kerajinan, perkebunan, peternakan, pertanian)? Alumni pesantren yang melanjutkan ke perguruan tinggi, berapa banyak yang lulus sarjana, megister, dan doktor? Lalu apa kiprah mereka setelah lulus kuliah? Dan, berbagai aspek lain yang harus dipetakan dari alumni.
Tentu saja masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan alumni. Namun gebrakan PB IKAPPI dengan Reuni Akbar November 2016, perlu dicatat sebagai langkah positif. Pertemuan ini menjadi yang pertama dalam sejarah Al-Ittifaqiah dan mendapat sambutan antusias dari alumni lintas generasi, lintas profesi, dan lintas pulau dan negara. Dan, kiranya kita dapat mengukur seberapa besar potensi yang dimiliki alumni.***