21 November 2013 pukul 4:07
Menjelajah Alam Pikiran dan Alam Spiritual
Oleh: Shafei Pahlevy
“Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik.” (QS. An-Nahl : 125)
Derajat orang-orang yang berilmu ditinggikan oleh Allah, sebab ilmu itu menghidupkan hati dan menerangi pandangan yang gelap serta menguatkan badan yang lemah. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa dengan ilmu seorang hamba mencapai kedudukan orang-orang yang saleh serta derajat yang tinggi. Ilmu adalah pemimpin dan amal adalah pengikutnya. Dengan ilmu manusia menjadi berhati-hati dalam mengamalkan agama dan memelihara hubungan kemanusiaan. Dan dengan ilmu pula manusia akan sampai kepada Allah dan menjadi dekat dengan-Nya.
Ilmu yang dimiliki manusia itu tercermin dalam alam pikirannya, dari situ kemudian tergambar pula dalam amal perbuatannya. Orang yang berilmu tentu saja memiliki alam pikiran yang lebih luas ketimbang orang yang tidak berilmu. Alam pikiran itu mempengaruhi pola perbuatan manusia, dan sering juga menjadi semacam haluan bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Kegiatan manusia dalam berfikir dan merumuskan gagasan-gagasan termasuk juga bagian dari pemanfaatan alam pikirannya.
Alam pikiran seseorang dengan orang lainnya berbeda-beda, dan itu tergantung dari kondisi lingkungan kehidupannya. Satu sama lain berbeda dalam hal penyerapan ilmu pengetahuan dan kemampuan mengelola arus informasi yang diterimanya. Alam pikiran turut pula membentuk karakter dan nilai-nilai pada diri seseorang, dan dari situlah manusia melahirkan karya-karya besar dalam kehidupannya, juga mencatatkan sejarah kesuksesannya. Masing-masing kita memiliki alam pikiran untuk mengartikulasikan bermacam keinginan dan kepentingan. Sehingga tidak jarang terjadi gesekan kepentingan akibat perbedaan alam pikiran tersebut.
Meskipun sering melahirkan beraneka ragam konflik, alam pikiran manusia itu sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menciptakan kedamaian dan keharmonisan hidup bersama. Membangun tatanan keseimbangan kehidupan di alam semesta ini. Di sana bersemayam kesadaran untuk menjaga dan memelihara harmoni atau ketertiban sosial. Alam pikiran dapat menjadi pusat pencerahan yang memberikan sinar harapan pada diri manusia, melahirkan akal sehat dan pikiran cerdas dalam memecahkan berbagai problem kemanusiaan dan beraneka macam krisis. Ia merumuskan suatu jalan keluar atau solusi bagi segenap kebingungan yang dihadapi umat manusia, serta menuntun kita untuk meminimalisir kesalahan.
Adapun alam spiritual memiliki kedudukan yang lebih tinggi ketimbang alam pikiran. Perbedaan keduanya antara lain terletak pada kemampuan jangkauan wilayah penjelajahannya. Alam pikiran hanya menjangkau wilayah yang serba profan, sedang alam spiritual menjangkau wilayah sakral dan transenden. Alam pikiran menuntun pandangan mata yang terletak di bagian kepala, sedang alam spiritual membuka pandangan mata hati(bashirah) yang terletak di dada. Ia menghadirkan cahaya dan juga kesejukan dalam jiwa manusia. Semakin hatinya bersih dan bening maka cahaya itu akan semakin terang-benderang dan menuntun manusia untuk meraih kenikmatan ruhani, suatu kenikmatan yang akan mendekatkan hubungan seorang hamba dengan Sang Pencipta.
Para ulama sufi melatih ketajaman alam spiritual itu dengan cara tirakat dan senantiasa bermunajat untuk mencari ridlo Allah. Dengan cara itu mereka juga belajar keikhlasan dan kesabaran serta menghadirkan rasa syukur dalam hidupnya. Alam spiritual adalah cakrawala yang tak terbatas bagi mereka yang akan mengarungi bahtera penyaksian(musyahadah) dengan Sang Pencipta. Dengan cara itu para wali terdahulu dapat menggapai puncak spiritualitas dalam kehidupannya, dan mereka juga dapat membagikan cahaya ilahiah yang didapatkannya itu kepada sesama manusia, terutama mereka yang menjadi muridnya.
Sinergi antara alam pikiran dan alam spiritual itu akan menjadikan seseorang mendalami hakikat kehidupan dengan ilmu dan keimanan. Jika ilmu menuntun kita untuk memahami sesuatu secara empiris, maka iman menuntun kita untuk melihat kebenaran berdasarkan cahaya suci yang menyala di dalam hati. Segala amal ibadah kita tidak cukup didasarkan pada ilmu semata, tapi lebih dari itu semua adalah karena berdasarkan rasa iman; suatu keyakinan yang tumbuh dalam hati. Dengan begitu kita bukan saja mendalami suatu kebenaran, tetapi juga penyerahan diri secara total kepada Sang Ilahi.