Sudah dua hari media masa baik cetak maupun elektronik gencar memberitakan tertangkapnya bupati Ogan Ilir (AW) yang baru hitungan hari dilantik karena kasus narkoba oleh BNN.
Sebagai warga OI, bermacam perasaan yang sesekali ganggu tidur siang. Fokus saya bukan pada tersangka karena dia boleh dibilang hanya sebagai korban. Ya, korban pergaulan, korban orang tua, korban zaman, sampai ke korban politik. Bersalah sudah tentu, berdosa itu dipastikan. Trus siapa lagi yang ikut berdosa?
Jauh menoleh kebelakang, proses untuk menjadi orang nomor satu di kabupaten tidaklah mudah, harus melibatkan berbagai elemen. Begitu banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, contohnya ia harus bebas narkoba yang diperiksa langsung oleh lembaga/RS yang terpercaya.
Ada yang janggal ketika kepala BNN Komjen. Budi Waseso menyebutkan kalau tersangka sudah lama mengkonsumsi barang haram tersebut. Muncul pertanyaan, bagaimana ia bisa lulus dalam uji kesehatan saat mencalonkan diri. Mungkinkan disitu ada konspirasi…???
Yang paling disesalkan juga adalah dukungan dari 5 partai politik besar yakni Golkar, PDIP, PPP, Hanura dan PKS karena tanpa dukungan mereka, pasangan calon akan menemui banyak kendala. Kelima partai ini bukanlah partai abal-abal yang diisi oleh orang-orang tak jelas dan tak berakal.
Golkar contohnya, didalamnya banyak sekali orang-orang intelektual dan profesional. PDIP melalui berbagai kongresnya terang-terangan memposisikan diri pada barisan terdepan, mengangkat senjata melawan narkoba, partai PPP adalah lumbungnya para cendikiawan, ulama dan para terpelajar.
Hanura, dengan visi misi yang anti korupsi dan KKN, mereka kompak menentang keras segala penyimpangan dan ramai-ramai tabuh genderang perang narkoba. Lalu bagaimana PKS, jujur, ini adalah partai yang paling saya kagumi. Melalui panji religi, mereka berhasil mencetak akar rumput yang loyal, istiqomah pertahankan identitas dan ikhlas berjuang demi partai.
5 partai tersebut mempunyai aturan main sendiri untuk menentukan arah dukungan. Mekanisme partai tentu dijalankan dengan berbagai pertimbangan dan tidak satu dua kali mengadakan rapat koordinasi. Lalu mengapa memutuskan memberikan dukungan, siapakah AW itu, apakah track recordnya tidak bisa terbaca oleh orang-orang sepintar Golkar, sealim PPP, sepintar Hanura dan secerdas PKS serta sepiawai PDIP. Apakah mereka kekurangan data, tentu saja tidak demikian karena mereka bukanlah tipe orang yang kurang pergaulan, norak dan kolot, bukan juga orang-orang yang mudah ditipu.
Berdoa saja, semoga saja dukungan penuh itu bukanlah berlandaskan akan gemerlap sinar mahar, janji lahan proyek atau bagi-bagi kapling kekuasaan. Miris sekali ketika melihat sang elit partai duduk manis satu lingkaran penguasa terlibat narkoba, sementara kader akar rumput berjuang ikhlas sepenuh tenaga.
Musibah ini membawa luka yang begitu dalam bagi masyarakat Ogan Ilir karena kasus ini bukanlah kasus biasa, tanya saja pada PPP dan PKS, apa hukum dari khamr, tanya juga dengan Golkar atau Hanura mengapa narkoba itu dilarang keras di negeri ini lalu tanya juga dengan PDIP tentang apa maksud ungkapan Jokowi “Negara Darurat Narkoba”.
Insyaallah jawabannya sama, hukumnya haram, tidak etis, melanggar UU dan semua norma ketimuran, suatu tindakan pidana, merusak akal sehat manusia dan generasi muda. Lalu, terpikirkah mereka apa jadinya jika seorang pengambil kebijakan di bawah pengaruh sabu?
Ketika kasus ini terkuak, dimanakah yang dulu dengan semangat 45 ikut mengkampanyekan jagoannya walau disadari apa tidak, pada akhirnya hanya diganjar sebagai pemimpin doa dalam resepsi sang Petahana. Apakah tiarap sambil meratap, lari menenteng laci, atau sembunyi sembari rangkai pembenaran dan mencuci kaki.
Diprediksikan hari ini pasti jawabnya “no coment”, besok “nanti saja ya”, lusa “kita tunggu proses hukumnya dulu”. Sayup terdengar ada yang berkata dari belakang “kita harus kedepankan asas praduga tak bersalah”. Jurus terakhir “yang menentukan DPP Pusat, kita daerah hanya menjalankan perintah”.
Jika mendengar semua itu kita balas saja dengan enteng dalam satu kata “Deparpolisasi”.