Malam itu, adalah hari ke tujuh dimana aku hanya bisa pasrah dan mencoba mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Aku hanya bisa diam di kamar dan meratapi semua kesalahanku di masa lalu. Aku belum sempat untuk merubah sifat burukku ini dan membanggakan orang yang kini telah pergi meninggalkanku dan saudara-saudaraku untuk selamanya. Dalam diam dan sunyi, aku semakin terhanyut dalam pilu kesedihan di batinku. Semakin lama air mataku pun berguyur membasahi kasur dan bantalku. Terbayang wajahnya dalam memoriku. Dia adalah inspirasiku.
Namaku Jimi, lengkapnya Muhammad Tarjimi. Aku adalah seorang pelajar yang masih duduk di bangku 2 SMA, Palembang. Aku adalah anak ke dua dari lima bersaudara. Masa kecilku selalu diwarnai dengan kasih sayang. Walaupun kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaan, tapi aku bisa memahami dan mengerti. Mereka bekerja untuk kakakku, aku, dan adik-adikku. Namun karena kesibukan merekalah hubunganku dengan ayahku mulai mengendur sampai-sampai aku terjerumus ke dalam pergaulan yang salah.
Aku ingat betul, ketika aku masih duduk di bangku 1 SMA, aku belum salah pergaulan seperti saat ini. Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa berubah menjadi anak nakal seperti sekarang. Yang aku tahu, aku telah membuat hati kedua orang tuaku kecewa karena sifat nakalku.
Pada suatu malam, saat kami sedang berkumpul dan bercanda di ruang keluarga. Tiba-tiba, ayahku bertanya tentang keadaanku. Sontak aku sangat kaget dan aku tidak senang.
“Jimi, Ayah lihat belakangan ini kamu berubah.” Ayah bertanya padaku dengan wajah penuh curiga.
“Beruabh gimana, perasaan aku ya aku. Gak ada yang berubah.” Jawabku.
“Ayah lihat sifat kamu mulai berubah. Ayah cuma kasih saran, bergaullah dengan orang yang benar jangan yang salah. Ayah gak mau kamu salah pergaulan, Jimi. Kamu anak ke dua Ayah, kamu laki-laki, dan kelak kamu akan menjadi seorang imam. Kamu seharusnya memberikan contoh yang baik ke adik-adik kamu.”
“Ayah ngomong apaan sih, aku gak ngerti. Perasaan aku bergaul dengan orang yang bener, gak salah. Lagi pula, Ayah masih mamu merhatiin aku. Perasaan selama ini Ayah gak pernah merhatiin aku kayak gini. Ayah kan selalu sibuk dengan pekerjaan Ayah sendiri.”
“Jimi, Ayah Cuma gak mau salah pergaulan. Ayah takut nanti kamu berubah menjadi anak nakal. Kamu gak malu apa, Ayah kamu ini seorang ustad, apa kata orang coba ayahnya ustad anaknya berandalan. Ayah gak mau itu terjadi sama kamu.”
Ruang keluarga itupun menjadi sunyi dan menjadi tempat perdebatan antara aku dan ayah malam itu.
“Terserah apa kata orang, aku gak peduli. Ayah telat, aku emang udah salah pergaulan dari dulu. Kenapa ayah baru sekarang merhatiin aku, kemana aja ayah selama ini.”
Aku melihat wajah ayah saat itu begitu marah dan kesal. Ibuku yang mulai gak tahan sama suasana saat itu, segera merelai perdebatanku dengan ayah. Aku memilih masuk kamar dan meninggalkan mereka semua di ruang keluarga.
Sejak kejadian itu, ayah selalu memperhatikanku secara diam-diam, ayah semakin curiga dan kecurigaan itu terungkap ketika aku mendapatkan masalah besar di sekolah. Mau tidak mau, orang tuaku harus datang menghadap pihak sekolah yang bersangkutan.
“Jimi, kamu sudah kelewatan. Ayah benar-benar kecewa sama kamu. Ayah sudah pernah bilangkan, jangan pernah bergaul dengan orang yang gak bener. Tapi kamu masih aja gak denger, inikan akibatnya.” Ayah memarahiku dan aku hanya diam. Tak menggubris omongannya.
Mungkin, ayah mulai lelah menasehatiku. Dan sebenarnya, aku juga bosan di celotehi terus setiap hari. Dan sejak munculnya masalah itulah, aku mulai berniat untuk berubah. Memperbaiki sifatku seperti dulu. Membersihkan nama keluargaku, yang sempat aku rusak karena kenakalanku. Aku akan berusaha menjadi apa yang ayahku inginkan.
Namun seiring berjalannya waktu, disaat aku sedang berusaha berubah. Ternyata Tuhan berkata lain, ia merenggut nyawa seorang pria yang begitu aku sayangi. Sosok pria yang selama ini mengajarkanku banyak hal. Dialah ayahku. Seorang ustad yang selalu menceramahiku dengan banyak ilmu pengajaran. Dia telah memberikanku sebuah inspirasi berharga, hingga kini aku ingin seperti dirinya.
Rasanya baru kemarin aku terlahir dan bermain dengannya. Tapi hari ini, aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, bahwa usia tidak menjamin kapan kita akan kembali kepada-Nya. Disaat detik-detik terakhir ayah akan meninggalkan kami sekeluarga, ayah berpesan padaku.
“Ji..mi.. ayah..ingin kamu..dan kakak kamu… menggantikan.. ayah… jaga adik-adik kalian… dengan baik-baik.” Tak terasa air mataku telah mengalir membasahi pipiku. Aku tak mampu bicara, aku hanya bisa menangis dan mengangguk.
“Jimi..” ayah menggenggam tanganku.
“Ayah ingin kamu berubah, nak. Jadilah penerus.. ayah… yang baik dan hebat… ayah yakin kamu bisa.”
“Iya, ayah. Jimi janji akan banggain ayah, tapi ayah harus sehat. Ayah mau kan.” Namun ayah hanya tersenyum.
Tak lama kemudian, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Orang yang selalu menceramahiku, kini hanya terbaring diam tak berbuat apa-apa. Tinggallah penyesalan yang menyelimuti diriku. Namun aku teringat kata ayah. Tidak ada kata terlambat. Aku akan mewujudkan apa yang ayah inginkan.
Terima kasih ayah, kaulah inspirasiku. Aku akan merindukanmu selalu. Ayah, kau memang telah tiada. Namun kau akan selalu hidup di jiwaku. You are my hero.
…..SELESAI…..