Nuril Aswa*
Dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang termuat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, maka pemerintah telah mengupayakan terselenggaranya suatu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan Undang-Undang, sebagaimana yang tercantum dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31 bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah mengusahakan dalam menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang.
Sejalan dengan itu, maka ditetapkanlah suatu sistem pendidikan nasional yang mengatur segala sesuatu yang diperlukan menyangkut masalah pendidikan tersebut.
Bertitik tolak dari keinginan di atas diharapkan proses pendidikan mencapai suatu titik akhir, yaitu tercapainya tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasayrakatan dan kebangsaan.
Dengan tujuan pendidikan di atas, maka diupayakan adanya suatu kegiatan yang mengarah pada harapan tersebut melalui proses pendidikan yang mencerminkan dengan diselenggarakannya kegiatan-kegaitan pendidikan. Ia merupakan suatu proses pengembagnan diri individu dan kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai, sehingga mampu menyesuiakan diri dengan lingkungan.
Dalam pasal 1 ayat 1, tentang ketentuan umum mengenai pendidikan menyebutkan suatu “Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Di samping itu pula, seorang tokoh pendidikan nasional Indonesia Ki Hajar Dewantara mengatakan pengertian pendidikan adalah sebagai daya upaya utnuk memberi tuntunan pada segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang setinggi-tingginya.
Dengan demikan, usaha sadar atau daya upaya untuk menyiapkan peserta didik dalam hal ini anak sebagai generasi muda diharapkan akan menjadi tumpuan utnuk dapat tumbuh dan berkambang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan zaman yang semakin maju.
Sejalan dengan pernyataan di atas, timbul pertanyaan bagi kita siapa yang mempunyai peranan dalam upaya pencapaian keberhasilan dan peningkatan aktivitas anak menuju tujuan yang diharapkan?
Dalam pasal 10 Undang-Undang Pendidikan yang dinyatakan dalam ayat 1, bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pendidikan sekolah dan jalur pendidikan di luar sekolah. Selanjutnya dalam ayat 2 dan 3, lebih lanjut dijelaskan bahwa jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjangdan berkesinambungan dan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.
Bertitik tolak dari pasal 10 di atas, penyelenggaran pendidikan terutama di Negara Indonesia, wewenang dan tanggug jawabnya pada keluarga, masyarakat dan pemerintah sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia . Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Memahami akan tanggung jawab dan wewenang mengenai pelaksanaan proses pendidikan di atas, maka diadakan pembagian wewenang dan tanggung jawab itu dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan yang disebut juga dengan lingkungan pendidikan nasional.
Menurut Ki Hajar Dewantara seperti yang dikutip oleh Suwarno mengemukakan “Tricentral atau Tri pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan perkumpulan pemuda.
Di sini Ki Hajar Dewantara memandang badan pendidikan dari segi wadah dan tempat terlaksananya proses pendidikan tersebut.
Dari pernyataan di atas, pada dasarnya dalam dunia pendidikan telah ditetapkan mengenai pembagian lingkungannya yang meliputi pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat.
Tiap-tiap lingkungan tersebut memberikan pengaruh dalam proses pembentukan individu melalui pendidikan yang diterimanya, baik langsung maupun tidak langsung. Kadar besarnya sumbangan dari masing-masing lingkungan itu tidaklah dapat dinyatakan secara kuantitatif dan terukur, namun yang jelas ada pengaruh yang berarti terhadap anak.
Kemudian melalui ketiga jenis pendidikan ini, akan lebih memungkinkan bagi seseorang untuk mendapatkan semua jenis ilmu melalui proses pendidikan. Betapa pentingnya usaha ini tergambar dalam Al Qur’an yang artinya :
“…..niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” ( QS. Al-Mujadalah : 11)
Sebagaimana diketahui bahwa keluarga merupakan anggota terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari ayah, ibu ( orang tua ) dan anak. Keluarga kecil ini sering disebut dengan keluarga inti. Keluarga inti ini bukanlah satu-satunya ikatan sosial yang sering dihubungkan dengan famili yang disebut dengan keluarga besar. Keluarga ini mencakup ayah, ibu, anak-anak, adik, kakak, saudara, orang tua pihak suami dan pihak ibu, nenek, kakek pihak suami istri. Secara umum dapat dikatakan bahwa keluarga besar ini meliputi semua anggota yang mempunyai pertalian darah dengan pasangan suami istri.
Sehubungan dengan itu, peranan orang tua tidak hanya sebagai ayah, ibu tetapi jug berperan sebagai pendidik. Pranan orang tua dalam mengarahkan anak-anak mereka merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan baik. Karena orang tua menentukan dasar-dasar kepribadian anak-anak mereka. Hal ini dijelaskan dalam Hadist Nabi Muhammad s.a.w yang artinya, “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci, tetapi ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Di samping itu, orang tua bertugas menanamkan nilai-nilai yang akan dibawa anak dalam proses pergaulan di tengah-tengah masyarakat karena orang tua adalah orang pertama menjadi pendidik bagi anak-anaknya, dimana seorang ibu mempunyai peran penting dalam membina, mengasuh, menanamkan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya hingga menginjak usia remaja dan dewasa, karena orang tua ( ibu dan bapak ) dan anaknya saling menyatu dalam suatu ikatan batin sehingga tidak aneh jika seorang ibu mengasihi dan mencintai anaknya.
Anak dan orang tua adalah dua unsur yang saling berhubungan ( berinteraksi ) dalam kehidupan keluarga. Hubungan ini terjalin karena adanya ikatan batin yang mendalam antara keduanya. Hal inilah yang mendorong timbulnya suasana harmonis, saling pengertian dan saling mempercayai.
Lebih jauh ikatan batin tersebut menimbulkan adanya interaksi educatif antara anak dan orang tua yang merupakan nilai tambah bagi keduanya, terutama bagi anak. Dalam hal ini Katini Kartono mengatakan bahwa situasi pergaulan antara orang tua anak tidak bisa dilepaskan dari situasi pendidikan. Dari situasi pendidikan bagi seorang anak, sebelum ia masuk sekolah pendidikan di rumah merupakan pendidikan dasar bagi anak tersebut. Pendidikan sekolah sebenarnya adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga, kerap kali pendidikan di sekolah mengalami kesulitan yang sebenarnya disebabkan oleh dasar pendidikan yang ditetapkan anak atau murid dalam keluarga.
Sehubungan dengan hal di atas, peran serta dan usaha orang tua sangatlah diperlukan dalam meningkatkan prestasi belajar anaknya di sekolah. Dengan kata lain orang tua harus memotivasi anaknya, melengkapi sarana dan prasarana belajar, menciptakan suasana rumah yang tenang dan lain-lain. Hal ini akan menggugah minat anak utnuk mengulangi pelajaran di rumah sehingga akhirnya meningkatkan prestasi belajarnya.
Dari sinilah orang tua sangat menaruh simpati pada lembaga pendidikan formal ( Sekolah Dasar Negeri ) dengan harapan anak-anaknya dapat mengenal, mengetahui, menguasai semua mata pelajaran dengan baik, sehingga anak dapat memperoleh keberhasilan atau prestasi yang baik. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kerja sama yang harmonis, baik orang tus sebagai pendidik di rumah maupun guru sebagai pendidik di sekolah.
Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan terhadap masyarakat yang tinggal di desa Sedyo Mulyo, mayoritas dari mereka mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu berangkat pagi hari dan pulang pada sore hari.
Dari kenyataan yang ada, nampak orang tua kurang memberi perhatian dan dorongan kepada anak-anaknya dalam pendidikannya. Dengan kata lain anak-anak kurang termotivasi utnuk belajar, menambah ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat kesibukan orang tua dalam usaha mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin kompleks. Di samping itu juga sarana dan prasarana untuk anak belajar kurang dilengkapi. Hanya yang dipandang penting saja dilengkapi seperti : buku-buku, tidak setiap pelajaran dilengkapi hanya sebagian bahkan ada beberapa buah saja. Begitu juga dengan sarana di rumah. Anak-anak dibiarkan bebas untuk belajar dimana saja dan juga tidak meja khusus dan lain-lain.
*Alumni STITQI 2009