http://iskandarzulkarnain.com
17 August 2014 | 10:43Aku baru saja memarkir motor yang kukendarai, memasuki halaman rumah Haidir saja, sudah membuatku tenang. Selalu saja begitu, apakah ini hanya sugestiku saja, atau ada alasan yang lebih rasional, yang dapat aku jelaskan. Rumah Haidir terlihat sepi, pintunya terlihat terkunci, meskipun ruang dalamnya, lampu terlihat menyala. Aku mengira Haidir sedang pergi keluar. Kalau tidak, tentu dia akan duduk diberanda rumah itu pada jam-jam segini.
Setelah membuka helm, aku segera menuju pintu rumah dan mengetuknya, masih berharap jika Haidir ada di rumah. Tak ada jawaban, tetapi lamat kudengar ada suara langkah menuju pintu. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Dihadapanku berdiri Ratih, istri Haidir.
“Assalamu’alaikum..” sapaku pada Ratih.
“Waalaikum salaam. Oh.. Abang, silahkan masuk Bang” jawab Ratih ramah. Selalu demikian, keluarga Haidir selalu ramah padaku. Bukan hanya Haidir, tetapi juga Ratih, istri Haidir.
“Mas Haidir ada Tih? Sejak sore tadi HPnya mati terus” tanyaku pada Ratih.
“Mas Haidir sedang keluar Bang, sore tadi dia pamit mau ke rumah Wignyo, tapi janjinya jam delapan sudah sampai rumah lagi, sebentar lagi juga pulang..”
“Oooo.. “
“Masuk Bang, jangan berdiri disitu aja” ajak Ratih, mempersilahkan masuk. Aku tak enak untuk masuk, rasanya ada sesuatu yang janggal, jika aku duduk di dalam, sementara suaminya tak ada di rumah.
“Makasih, Abang duduk di luar aja” jawabku, lalu menuju kursi yang ada di beranda rumah itu, tempat biasa aku duduk bersama Haidir, jika bertamu ke rumahnya. Pertimbangannya sederhana. Aku tak ingin mengganggu kenyamanan Ratih, baik dari suara kami, yang kadang tertawa lebar, jika ada hal-hal yang lucu, tapi yang paling prinsip, tak ingin mengotori ruang tamu Haidir dengan asap rokok yang keluar dari tenggorokanku, karena selalu saja, selama ngobrol dengan Haidir aku akan menghabiskan berbatang-batang rokok.
*****
Haidir adalah teman semasa kecilku dulu, aku lebih tua dua tahun dari Haidir, tetapi, perbedaan umur itu, tidak jadi penghalang bagi kami untuk akrab. Tiga tahun lalu, kami bertemu kembali di kota ini, Haidir yang kukenal kini, sudah menjadi ustadz, dia kini terlihat berwibawa sekali. Apakah karena dia sudah berumah tangga atau karena memang ilmu agama dan wawasan yang dimilikinya.
Jika aku sudah sumpek dengan kehidupan yang kujalani, atau karena ada masalah yang pelik, biasanya aku akan datang pada Haidir. Dengan ngobrol dan mengutarakan masalah yang kuhadapi, biasanya aku akan pulang dengan lega. Masalah yang kupikir ruwet, ternyata bagi Haidir masalah ringan, lalu dengan santainya, solusi dari masalah itu terjabarkan.
Sudah lama rasanya, aku begitu galau dengan kondisi politik belakangan ini. Bagaimana tidak, Pilpres ini menyebabkan perang kata-kata di medsos, apakah itu di FB, Twitter atau di K, membuatku muak. Aku pikir, ketika pencoblosan selesai dilakukan, maka perang kata-kata itu akan selesai. Ternyata perkiraanku meleset. Kondisinya semakin parah, dan makin memuakkan. Kedua belah pihak, melakukan serangan yang terkadang, meninggalkan etika dan meninggalkan nalar sehat. Seakan mereka yang berada dipihak sana semuanya salah, mereka yang berada dipihak sini, semuanya benar, demikian juga sebaliknya.
Pembahasan bukan hanya pada koreksi tentang program kerja kandidat, tetapi sudah merambah pada sisi pribadi. Pada hal-hal private yang tak perlu diperbincangkan pada masyarakat umum, tetapi hanya patut diperbincangkan pada lingkungan keluarga terkecil. Karikatur olok-olok yang dibuat, sungguh keterlaluan. Semua itu, sekali lagi, membuatku muak dan mau muntah. Tetapi, apalah daya awak ini. Aku bukan siapa-siapa yang mampu mencegah itu. Aku hanya ingin mengerti, masalah apa ini sesungguhnya? Semoga saja ada pencerahan, sehingga aku tahu duduk soalnya, dan mampu memaklumi fenomena yang sedang marak terjadi ini.
Sore tadi, ketika aku pulang kerja, kota ini, sudah marak dengan umbul-umbul untuk menyambut peringatan tujuh belasan, dibeberapa lapangan dan tanah kosong, aku melihat pohon Pinang dengan segala hadiah yang sudah tergantung pada sisi atasnya, di depan kantor Gubernur, sebuah panggung besar sudah berdiri, agaknya untuk upacara besok.
Semuanya terlihat kontras, disatu sisi sedang terjadi perang caci maki pada kedua belah pihak kandidat Capres, perang tuntutan keadilan dan hak ditingkat MK. Pada sisi lain, kemeriahan penyambutan detik-detik proklamasi tak kurang meriahnya.
Aku berharap Haidir, mampu menjelaskan fenomena ini padaku.
Aku baru saja akan menyalakan batang pertama, ketika Ratih keluar menghidangkan kopi, bersamaan dengan itu, ada sinar terang yang menyoroti wajah ini, sinar yang berasal dari lampu sepeda motor. Haidir telah pulang.
*****
“Gimana Kabarnya Bang?” kata Haidir, duduk di Bangku di beranda, tempat kami biasa duduk, sementara itu, Ratih masuk ke dalam, agaknya, dia sedang membuatkan kopi untuk Haidir.
“Baik Dir.. tambah makmur aja kelihatannya?” tanyaku, aku lihat Haidir tambah gemukan sekarang.
“Akh.. Abang bisa aja” jawab Haidir singkat.
“Kok HP mati?”
“iya Bang.. low batt. Tadi siang lupa ngecharge” jawab Haidir lagi.
Tak lama kemudian, Ratih keluar membawa kopi untuk Haidir. Lalu Ratihpun masuk, membiarkan kami cerita, mungkin juga dia letih, perlu istirahat, karena besok pagi dia akan mengikuti upacara bendera di sekolahnya tempatnya mengajar, upacara tujuh belasan.
“Abang kelihatan letih Bang. Kecapek’an kerja ya Bang?” Tanya Haidir. Kawan ini, selalu saja jeli melihat perubahan yang terjadi. Sebenarnya kalau saja dia tahu, aku bukan keletihan kerja, tapi lelah phsykis, melihat kondisi yang tak sepenuhnya aku ngerti.
“Gak juga sih, Cuma sedang galau aja” singkat jawabku.
“hahaha… macam anak muda saja abang nih..” jawab Haidir. Lalu seperti biasa, Haidir menyalakan batang rokok yang ada di meja. Rokok yang aku bawa. Haidir memang hebat. Dia sendiri sebenarnya tidak merokok. Tetapi, untuk menghargaiku, kadang dia juga merokok. Sebuah sikap toleransi yang kurasa tak perlu. Tetapi, begitulah Haidir, selalu saja ingin menghargai tamunya.
“hahaha… bukannya abang masih anak muda, Dir?” timpalku dengan nada sedikit protes, sembari bercampur canda.
“hahaha… abang hanya terlambat nikah aja” balas Haidir lagi. Kamipun tertawa berdua.
“Sebenarnya…”
“Sebenarnya apa bang? Coba cerita” kejar Haidir.
Akupun cerita tentang fenomena Pilpres ini pada Haidir. Lengkap dengan semua intrik yang menyertainya. Tak ada rasa sopan lagi pada bangsa ini. Tak ada rasa hormat pada pemimpinnya, semuanya dilecehkan. Memperebutkan pepesan kosong. Apakah jika kandidat yang didukungnya menang, lalu kehidupannya akan berubah. Padahal mereka kenal saja tidak dengan kandidat yang didukungnya.
Selama aku “curhat” kulihat Haidir hanya memandang asap yang keluar dari tenggorokannya, aku tak tahu, apakah dia sedang memikirkan fenomena ini, atau hanya sedang menikmati rokoknya.
“Sebenarnya, fenomena ini, sangat mudah dijelaskan bang” tiba-tiba Haidir memotong pembicaraanku.
Nah, ini dia yang kutunggu. Sebuah penjelasan sederhana dari Haidir yang menjadikan aku paham akan fenomena ini semua.
“Maksudnya gimana Dir, coba jelasin dong?” Tanyaku lagi, tak mau moment itu hilang.
“Mereka belum Merdeka bang”. Jelas Haidir pendek.
Mereka belum merdeka, bukan karena dijajah oleh Bangsa lain. Karena sesungguhnya, merdeka itu ada disini bang. Haidir mengarahkan telunjuknya ke dada. Merdeka itu, ada di hati dan di Pikiran.
Merdeka itu, bebas dari pemikiran yang mengungkung kita, bebas dari pengaruh virus pemikiran yang mendiskreditkan seseorang, sehingga kita salah dalam menyimpulkan tentang seseorang, lalu, akibatnya, melakukan tindakan salah pada orang yang bersangkutan. Bentuk tindakannya, bisa saja dengan mencaci makinya, lalu mencaci maki mereka yang mendukungnya, membuat anekdot olok-olok tentangnya dengan konotasi negatif, bahkan hingga membuat fitnah tentang orang itu, fitnah yang sepintas terkesan mendiskreditkan pihak lain, tetapi sesungguhnya, menunjukkan kualitas diri sipembuat fitnah, kualitas diri kelompoknya hingga pada gilirannya, akan menghancurkan diri sendiri, kelompok dan kandidat yang didukungnya.
Merdeka itu, bebas dari sak wasangka jelek pada orang lain. Penilaian pada orang lain, hanya dapat dilakukan, pada bentuk yang dapat dilihat dan didengar serta dibaca dari yang dilakukannnya. Melakukan diluar semua itu, menandakan kita belum merdeka. Kita masih terjajah oleh rasa kita sendiri, oleh pemikiran dangkal sendiri serta oleh prasangka kita sendiri. Sesungguhnya, kebanyakan dari sak wasangka itu adalah salah.
Merdeka itu, menjadikan diri baik, lalu lebih baik lagi, lebih baik. Mengupayakan orang lain untuk baik pula, lebih baik lagi, lebih baik lagi. Menularkan virus kebaikan ini pada keluarga, pada tetangga se Kampung, tetangga se Kecamatan, se Kapupaten, se Provinsi dan akhirnya se Negara. Bayangkan, jika virus kebaikan ini, dapat menular pada seluruh anak bangsa?
Merdeka itu, bebas dari infiltrasi informasi yang masuk. Sehingga kita tidak jadi korban dari informasi yang kita terima. Kita cerdas dalam mencari sumber berita yang masuk, cerdas menentukan apakah berita itu valid atau tidak valid, apa latar belakang dibalik berita itu, apa yang jadi sasaran tembaknya dan tidak terburu-buru menjudge berita yang kita terima.
Sedangkan fenomena perayaan tujuh belasan yang gegap gempita, juga indikasi bahwa kita sesungguhnya kita belum merdeka. Kita belum merdeka dari anggapan bahwa merdeka itu lomba naik pohon Pinang, lomba makan kerupuk dan upacara-upacara yang melelahkan. Padahal, merdeka itu hakekatnya, bebas dari segala hal yang mengungkung kita, hingga kita tidak dapat berbuat baik untuk sesama. Sesama manusia dan sesama makhluk ciptaanNya.
Haidir masih saja, memberikan makna merdeka yang sarat makna itu. Tetapi, untuk aku sendiri, penjelasan Haidir sudah cukup. Aku sudah menemukan jawaban akan fenomena Pilpres dan perayaan HUT Kemerdekaan ini.
Merdeka lah Bangsa ku. Karena sesungguhnya, Kemerdekaan itu sendiri, menjadikan kita lebih baik dan untuk Indonesia yang lebih baik lagi.