Oleh : Hani Karno Mu’minah (Koord. Program Komunitas)
Pendidikan di Indonesia kembali menampilkan diri dalam tampilan yang ironis. Aksi kekerasan terhadap pelajar SD Negeri Trisula Perwari, Bukittinggi, Sumatera Barat memapar di pemberitaan media. Berbagai analisa muncul kepermukaan. Analisa kepakaran bermunculan menggali akar dan solusi permasalahan. Satu nada yang sama mengemuka, keprihatinan.
Multidisiplannary approach
Dalam pendidikan di Indonesia, kita masih menempatkan isu kekerasan pada anak atau bullying menjadi isu nomor sekian, dimana Kementrian Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi leading sector dan bukan Kementrian Pendidikan Nasional. Kementrian Pendidikan Nasional masih dan selalu berbenah, kurikulum 2013, penurunan angka buta huruf, pemenuhan akses yang baik bagi seluruh masyarakat atas pendidikan, kesejahteraan guru masih menjadi isu sentral. Akan tetapi dengan diskursus pendidikan karakter yang tersarikan dalam Kurikulum 2013 tentu secara langsung atau tidak isu kekerasan anak dan penciptaan lingkungan ramah anak tidak bisa dijadikan isu nomor sekian lagi dan harus memiliki rencana aksi yang implementatif dan operasional sehingga mampu diterapkan dengan baik.
Tahun 2014 KPAI mencatat ada 622 kasus kekerasan terhadap anak, terjadi penurunan dari tahun sebelumnya (2013) yang mencatat 1.620 kasus kekerasan terhadap anak baik itu fisik, psikis, atau seksual. Tentu semua menyadari bahwa pendekatan ideal terhadap kasus kekerasan anak atau bullying tidak dapat difahami hanya dengan pendekatan angka. Secara statistik, tentu angka itu masih jauh dari permasalahan pendidikan lainnya. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan adalah individu dan potensinya.
Memberikan anak dengan pemahaman yang baik untuk waspada terhadap indikasi awal tindak kekerasan atau bullying dan membekali si anak mekanisme pertahanan diri tentu adalah hal baik. Kembali membedah bagaimana menjadi orang tua yang tanggap juga merupakan perkara ideal yang wajib dilakukan. Pada akhirnya permasalahan kekerasan terhadap anak tidaklah berdiri sendiri. Permasalahan harus diurai dengan berbagai pendekatan. Untuk konteks Isu kekerasan anak dan bullying, unit analisa personal, sosial, dan struktur (sistem) seperti yang diurai dimuka tadi sudah dilakukan. Akan tetapi, satu yang luput adalah bahwa pendekatan itu selalu dilakukan sektoral dan seporadis.
Rencana Akasi yang disusun oleh Kementrian Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai leading sector dengan pendekatan multisektoral dimana kementrian pendidikan nasional, kepolisian, dan lainnya harus kembali direvitalisasi. Implemtasi rencana aksi perlindungan anak tentunya juga harus mampu merangkul sector private, komunitas, atau kelompok di publik yang selama ini concern dan gigih menyusuri “jalan sunyi “ untuk menjadikan isu lingkungan ramah anak sebagai garis perjuangan mereka.
Lingkungan Ramah Anak sebagai Command Issue
Sudah banyak media yang berkomitmen baik terhadap masyarakat dengan menampilkan tayangan edukatif, tapi harus diakui tayangan khusus dengan tema menciptakan lingkungan ramah anak masih hadir seporadis dan tidak terkonsep dengan baik. Media tentu masih selalu menjadi pilihan strategis dalam membangun kesadaran terhadap isu ini “Lingkungan Ramah Anak“.
Rata–rata orang Indonesia menonton TV 4,5 jam setiap harinya dan hampir 95 persen rumah tangga kelas menengah Indonesia memiliki Televisi (beritasatu.com). Tingginya angka menonton orang Indonesia idelnya menjadi satu peluang awareness campaign, sebuah kampanye hadirnya kesadaran dan bagaimana masing – masing individu sebagai dirinya sendiri, sebagai bagian dari lingkungan sosialnya, ataupun sebagai representasi sebuah sistem bergandengan tangan saling marenagkul membangun atmosfer lingkungan yang baik bagi potensi unggul yang dimiliki setiap anak.
November 10, 2014
Sumber: http://kantorberitapendidikan.net/menyemai-generasi-unggul