JAKARTA, JPNN (08/12) – Mendikbud Anies Baswedan yang menyebut pendidikan Indonesia dalam kondisi gawat darurat dibenarkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Menurut Anggota Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema, pernyataan Mendikbud tersebut adalah kenyataan terkini yang harus diselesaikan dengan solusi bijak.
Kenyataan buruk itu tuturnya, bukan hanya terkait soal kurikulum saja, melainkan banyaknya persoalan fundamental dalam pendidikan yang sampai detik ini belum terselesaikan.
“Persoalan itu tidak hanya kurikulum saja, tetapi sarana prasarana yang menunjang layaknya pendidikan. Seperti akses keterjangkauan sekolah di daerah, persoalan terkait guru, otonomi dan kebebasan guru. Jadi, tidak semata-mata soal kurikulum,” katanya, kepada INDOPOS (Grup JPNN), Senin (8/12).
Kondisi real itu, lanjutnya, berbanding lurus dengan penerapan kurikulum 2013 yang cukup membuat guru dan siswa mengeluh. Dia menilai di tengah keterbatasan sarana dan kompetensi pendidik yang belum siap, tentunya pemerintah harus memiliki jurus jitu dalam memecahkan persoalan tersebut. Tidak hanya memaksakan satu cara untuk dipakai secara menyeluruh. Harus ada solusi komprehensif dan kreatif agar semuanya terakomodir.
Doni menilai, perlu adanya metode yang bagus untuk menampung semua aspirasi pendidikan, tidak hanya melulu mengenai kurikulum. Nah, untuk itu Doni mengatakan perlu adanya metode berbasis potensi lingkungan.
“Pendidikan yang bagus itu tergantung metode di dalam kurikulum. Untuk Indonesia sendiri saya pikir lebih cocok dengan metode berbasis potensi lingkungan, kontekstual, dan bersifat partisipatif. Apapun kondisi lingkungannya bisa diterapkan semua. Namun, perlu digarisbawahi harus ada kompetensi dasar yang dibutuhkan yang didesain nasional biar tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Sebaliknya, kata dia, di tengah kondisi pendidikan nasional yang membutuhkan solusi yang komprehensif itu, pemerintah belum bisa menjawab dan merealisasikannya dengan baik. “Metode yang dipakai berbasis IT, tidak bisa digunakan semua. Apakah pusat akan memaksa metode IT kemudian tidak jalan semua,” tukasnya.
Ditambah persoalan guru dan sekolah yang selalu dikerangkeng birokrasi pusat yang menuntut kepatuhan dari bawahan. Jadinya, guru tidak bebas berkreasi sehingga menutup kreativitas pendidik di daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya otonomi khusus buat guru. “Otonomi guru harus dikembalikan, segala intervensi harus di hapuskan,” tegasnya. (fad)
Kenyataan buruk itu tuturnya, bukan hanya terkait soal kurikulum saja, melainkan banyaknya persoalan fundamental dalam pendidikan yang sampai detik ini belum terselesaikan.
“Persoalan itu tidak hanya kurikulum saja, tetapi sarana prasarana yang menunjang layaknya pendidikan. Seperti akses keterjangkauan sekolah di daerah, persoalan terkait guru, otonomi dan kebebasan guru. Jadi, tidak semata-mata soal kurikulum,” katanya, kepada INDOPOS (Grup JPNN), Senin (8/12).
Kondisi real itu, lanjutnya, berbanding lurus dengan penerapan kurikulum 2013 yang cukup membuat guru dan siswa mengeluh. Dia menilai di tengah keterbatasan sarana dan kompetensi pendidik yang belum siap, tentunya pemerintah harus memiliki jurus jitu dalam memecahkan persoalan tersebut. Tidak hanya memaksakan satu cara untuk dipakai secara menyeluruh. Harus ada solusi komprehensif dan kreatif agar semuanya terakomodir.
Doni menilai, perlu adanya metode yang bagus untuk menampung semua aspirasi pendidikan, tidak hanya melulu mengenai kurikulum. Nah, untuk itu Doni mengatakan perlu adanya metode berbasis potensi lingkungan.
“Pendidikan yang bagus itu tergantung metode di dalam kurikulum. Untuk Indonesia sendiri saya pikir lebih cocok dengan metode berbasis potensi lingkungan, kontekstual, dan bersifat partisipatif. Apapun kondisi lingkungannya bisa diterapkan semua. Namun, perlu digarisbawahi harus ada kompetensi dasar yang dibutuhkan yang didesain nasional biar tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Sebaliknya, kata dia, di tengah kondisi pendidikan nasional yang membutuhkan solusi yang komprehensif itu, pemerintah belum bisa menjawab dan merealisasikannya dengan baik. “Metode yang dipakai berbasis IT, tidak bisa digunakan semua. Apakah pusat akan memaksa metode IT kemudian tidak jalan semua,” tukasnya.
Ditambah persoalan guru dan sekolah yang selalu dikerangkeng birokrasi pusat yang menuntut kepatuhan dari bawahan. Jadinya, guru tidak bebas berkreasi sehingga menutup kreativitas pendidik di daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya otonomi khusus buat guru. “Otonomi guru harus dikembalikan, segala intervensi harus di hapuskan,” tegasnya. (fad)