Untaian kata tersebut di atas mungkin bisa sedikit mewakili sosok KH. Ahmad Qori Nuri. Kalimat yang menggambarkan totalitasnya memimpin Pondok Pesantren al-Ittifaqiah (PPI). Watak itu terbentuk karena kecintaannya kepada Allah dan rosul-Nya. Itu juga yang mendorongnya untuk selalu melakukan yang terbaik bagi PPI. Baginya berjuang untuk PPI yang merupakan lembaga pendidikan Islam berarti berjuang untuk umat, bangsa, negara, agama dan semesta, hatta, bila harus melakukan tindakan yang membuat orang lain menahan malu atau mungkin menangis karena melihatnya seolah-olah ‘mengemis’ kepada orang lain dalam jihadnya itu.
Putra dari pasangan KH. Muhammad Nur bin Naidain bin Wasim bin Tunggal dan Nyai Hj. Sholha binti M. Mursyid bin Munir, lahir di Mekkah Mukarromah pada tahun 1911. Dengan latar keluarganya itu, sejak kecil dia telah mengenyam pendidikan keislaman dengan baik.
Menginjak remaja, sebelum menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah dalam usia 18 tahun, dia menyertai ayahnya ke Arumantai Semendo untuk mengajar. Setelah itu dia kembali ke Sakatiga untuk melanjutkan studinya di Madrasah Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah dengan bimbingan pendiri madarasah itu yaitu KH. Ishak Bahsin.
Usai menamatkan studinya, suami dari Nyai Ghuslan yang dinikahinya di tahun 1937, diminta untuk berkhidmad di almamaternya. Amanah itu dia terima dengan ikhlas hingga akhirnya pada tahun 1954 dia ditunjuk untuk memimpin lembaga yang pada saat itu telah berganti nama menjadi Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga, menggantikan gurunya KH. Ismail Mahidin yang wafat di tahun itu.
Pada saat memimpin madrasah itulah dia berhasil menggerakkan seluruh elemen SMI Sakatiga dan masyarakat Sakatiga untuk menjayakan lembaga pendidikan itu. Kejayaan itu mengharumkan nama SMI Sakatiga yang pada tahun 1962 bernama Madarasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga. Bukan hanya itu, bahkan nama Sakatiga juga mengharum hingga terkenal dengan sebutan ‘Mekkah Kecil’.
Akan tetapi di tahun 1967 MMA diserahkan kepada Pemerintah dan dijadikan madrasah negeri. Menyikapi perubahan tersebut, Ayah dari 5 anak itu dan murid-murid KH. Ishak Bahsin di Indralaya memandang bahwa MMA Sakatiga adalah kelanjutan jihad K.H. Ishak Bahsin. Bila dinegerikan dan diserahkan kepada pemerintah akan kehilangan nilai-nilai sejarahnya. Karena itu atas kesepakatan dan dukungan penuh masyarakat Indralaya dengan tokoh agama dan tokoh adatnya dibentuklah Madrasah Menengah Atas (MMA ) al-Ittifaqiah Indralaya.
Setelah kesepakatan itu, murid yang sangat menghormati dan sangat berbakti kepada orangtua dan gurunya itu diminta untuk memimpin lembaga baru tersebut yang sejak tahun 1976 bernama Pondok Pesantren al-Ittifaqiah (PPI) Indralaya hingga akhir hayatnya 11 april 1996 di usia ke-85.
Kyai yang lahir disambut dengan senyuman dan meninggal diiringi doa dan tangis haru kehilangan, menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di Indralaya dalam naungan cahaya yang menembus atap rumahnya disaksikan sang istri dan kelima anaknya; Hj. Maulida, KH. Muhsin Qori, KH. Moechlies qori, KH. Mursjied Qori, KH. Musleh Qori dan KH. Mudrik Qori. Jasadnya mengeluarkan semerbak kesturi menenangkan isak tangis keluarga tercinta yang berkumpul melepaskan kembalinya sang ‘nafsul muthmainnah’ ke Kholiqnya. Saat penyemayamannya, dari Muara Meranjat hingga hingga jalan Lintas Timur Km. 32 macet total dipenuhi para pelayat mengantarkan sang ‘syahid’ ke peristirahatan terakhirnya.