PULUHAN anak riuh di sekeliling panggung yang diatur rendah untuk menciptakan kesan akrab. Dengan mata berbinar mereka menantikan para pendongeng yang akan tampil. Salah seorang anak enam tahun, Izan, sudah menunggu sejak pagi di salah satu sisi panggung di Festival Dongeng Indonesia 2014 di Museum Gajah, Jakarta, kemarin.
Bersama sang kakak, Zian, Izan enggan berpindah dari sisi panggung. Dia begitu gandrung mendengarkan dongeng dari sejumlah pendongeng berbakat. “Aku suka semua sampai bingung lebih suka yang mana,” celoteh Izan saat ditanya siapa pendongeng favoritnya.
Tidak ada tema berat yang disampaikan para pendongeng. Kisah dengan tokoh-tokoh binatang dan cerita sederhana mendominasi tema mereka. Hanya para pendongeng sangat piawai memainkan suasana dan menjalin interaksi dengan anak-anak yang haus hiburan sehat.
“Kini era digital sehingga anak-anak dapat hiburan dari permainan di smartphone-nya dan menonton streaming dari Youtube. Dongeng menyajikan hiburan interaktif, tidak bisa digantikan oleh hiburan digital,” ujar salah seorang pendongeng, Rona Mentari.
Rona berkisah bahwa dia sudah mulai mendongeng sejak duduk di kelas 4 SD. Dia optimistis dongeng masih diterima anak-anak karena dinilai lebih efektif menggiring perhatian dan langsung berdampak pada meresapnya pesan moral yang terkandung dalam dongeng.
“Kalau mendongeng, kami mesti interaktif. Kalau anakanak bertanya, itu harus dijawab. Seperti tadi, ada anak naik ke panggung, ada yang sambil bercanda, itu karakter anak-anak,” tambah Rona. Pendongeng lain, Dwi Cahyadi, mengutarakan hal serupa. Pria yang berangkat dari dunia teater ini menganggap dongeng sebagai metode interaksi yang monolog. Dwi mengaku belajar banyak soal monolog interaktif.
“Ini audiensnya anak-anak, alurnya pun dibuat simpel dan interaktif. Gampang-gampang susah,” tutur Dwi. Lalu apa yang mendasari Dwi bertahan menjadi pendongeng? “Kepuasan batin ketika melihat anak-anak larut dalam cerita.†Selain mendongeng, ada pula penampil yang bernyanyi. Arum dan Maisy dari grup musik Tetangga Pak Gesang.
Ketika mereka menyanyi, anak-anak pun tidak segan ikut pula bersenandung. Pemandangan ini memang cukup langka di zaman sekarang. Itu pula yang mendasari Ade, 35, salah seorang ibu, rela menemani putranya sejak pagi. Ade memandang gelaran semacam ini mesti diadakan secara rutin agar anak-anak kembali memiliki wahana hiburan sehat yang semakin hari kian tergerus era digital. ( MI/Fathia Nurul Haq)