Istilah mirip-mirip di atas sepertinya lumrah kita dengar, entah sebagai ungkapan yang menggambarkan kekecewaaan karena tertolaknya anggaran atau ketika terjadi stagnan karena dipengaruhi kecemburuan social. Mari kita urut satu persatu
smile emotikon.
Kalau menurut Wikipedia, logika berasal dari bahaya Yunani (Logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam Bahasa. Tapi biar lebih seru bisa kita modifikasi dikit deh smile emotikon, logika adakah hasil pikiran yang digambarkan pada kata dan perbuatan.
Terus gimana dengan logistik?, logistik bisa kita artikan dengan materi seperti dana, fasilitas, infrastruktur, dan lain sebagainya tidak terkecuali unsur-unsur immaterial lainnya.
Terakhir anarkis, kalau kata ini sih pasti lancar dan fasih diucapkan oleh pejabat dan penegak hukum. Anarkis bisa kita artikan sebagai perbuatan tanpa dipimpin dan terpimpin yang berdampak negatif dan bersinggungan dengan norma serta tata aturan yang berlaku dalam kawasan sosial.
Aduh…. repot juga yah, gara-gara lontaran kata teman saya tadi sesaat setelah break rapat koordinasi….
Ok, kembali ke laptop…. apakah logika tanpa logistik ujung-ujungnya pasti anarkis?.
Tidak dipungkiri hasil kinerja yang maksimal membutuhkan prosesi yang juga maksimal dan panjang malah mungkin lebih sporadis lagi “melelahkan”. Satu sisi kita harus menghasilkan karya yang diakui publik tapi di sisi lain, lagi-lagi dihadapkan pada materi yang minim.
Mungkin ada baiknya langkah awal kita bertolak adalah menentukan orientasi kerja dan pemantapan niat. Jika dari titik nol saja kita sudah fokus pada apa yang akan saya dapatkan atau berapa yang didapat jika saya kerjakan, mungkin sebesar apapun logistik yang tersedia pasti masih terdapat kata “kurang”, wajar saja karena tidak ada kata “cukup” pada manusia. Tetapi iklimnya akan sedikit bergeser jika kita fokuskan terlebih dahulu pada tujuan hakiki kita diciptakan.
Bukankah Islam telah mewanti-wanti bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah pada tuhannya dan sebaik-baik kita adalah yang paling dan banyak manfaatnya bagi yang lain.
Jika saja kita orientasikan suatu pekerjaan adalah suatu ibadah dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada orang lain, Insyaallah penggalan-penggalan kata yang mengecilkan semangat berkarya akan mudah kita tepis. Disinilah perlu adanya peran serta “ikhlas” dalam dunia kerja.
Sampai disini, saya jadi teringat dengan potongan kata teman saya yang lainnya, “ikhlas itu harus ditopang dengan logistik yang cukup”, atau ada yang lebih militan lagi “Ikhlas itu ada harganya bung…” malah ada juga yang seperti ini “ikhlas itu sifatnya kondisional”.
Memang kata ikhlas bisa bersifat multi tafsir, karena ia adalah intisari keimanan yang terdapat dalam hati. Dalam bahasa arab, hati disebut qolbu yang berarti sesuatu yang berubah-ubah. Begitu banyak faktor yang mempengaruhinya dan yang terbesar adalah kondisi emosional sampai pada defisit sandang, pangan dan papan. Beberapa faktor ini tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan kita sehingga menentukan fluktuatifnya kadar keimanan seseorang dan secara otomatis mempengaruhi kualitas nilai-nilai keikhlasan.
Lalu, bagaimana triknya agar grafik keimanan tidak fluktuatif atau minimal tidak terlalu drastis..???